Senin, 02 Juli 2012

ASAL MULA KOTA PEMALANG


K ota Pemalang di pantai utara Jawa Tengah saat ini merupakan ibu kota Kabupaten Pemalang. Kota itu terletak di antara dua kota besar yang menjadi tetangganya, yaitu Pekalongan di sebelah timur dan Tegal di sebelah barat. Pemalang boleh dikatakan sebuah kota yang sudah tua umurnya sehingga kisahnya pantas dibanggakan. 
Tanggal lahir Kabupaten Pemalang adalah 24 Januari 1575. Artinya, mulai saat itulah resmi ada pemerintahan kabupaten. Tentu saja jauh sebelumnya pasti sudah ada kehidupan masyarakat yang berpusat di daerah tersebut. Tidak mungkin suatu pemerintahan berdiri secara tiba-tiba. 
Sejarah Pemalang dapat dikaitkan dengan Kerajaan Mataram Kuno yang berdiri pada tahun 700-an (abad ke-8) di Jawa Tengah. Kerajaan itu subur makmur loh jinawi; terbukti mampu membangun Candi Borobudur di Magelang dan candi-candi di dataran tinggi Dieng, dekat Wonosobo. Diperkirakan daerah Kedu yang memanjang dari Borobudur sampai Dieng merupakan wilayah inti kerajaan. Dihuni penduduk yang bertani dan berladang dengan penuh kebahagiaan.
Waktu itu belum dikenal nama Pemalang, tetapi tempat-tempat tertentu di daerah tersebut sudah dijadikan pelabuhan. Jadi, daerah Pemalang boleh dibayangkan sebagai pintu gerbang Mataram Kuno. Wajar, karena posisinya di bawah dataran tinggi Dieng. Namun, daerah itu belum sempat berkembang ketika terjadi keruntuhan Mataram Kuno.
Menurut sejarah, pada pertengahan tahun 900-an (abad ke-10) terjadilah perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, yaitu di aliran Sungai Brantas. Mungkin karena gempa bumi atau gunung meletus. Pada zaman itu, Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro masih menjadi gunung berapi yang ganas. Mungkin juga karena perang. Yang jelas, surutlah kekuasaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Yang berkembang kemudian adalah Singosari, Kediri, dan Majapahit di Jawa Timur. Waktunya kira-kira dari abad ke-11 sampai akhir abad ke-15.
Kehidupan masyarakat yang tersisa di Jawa Tengah tetap berjalan terus, tetapi selama ratusan tahun tidak menghasilkan prestasi yang gemilang. Selama itu pula Pemalang merupakan daerah yang bebas dari kekuasaan mana pun. Mataram Kuno sudah runtuh, sedangkan kekuasaan baru di Jawa Timur sangat jauh jaraknya. Pemalang seperti "daerah tidak bertuan".
Konon Pemalang pernah dimanfaatkan oleh Patih Gajah Mada sebagai pangkalan perang ke Sriwijaya. Dukungan orang Pemalang di bawah pimpinan Ki Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari membuahkan hasil gemilang. Karena itu, Pemalang dijadikan daerah perdikan. Artinya, suatu wilayah yang tidak dipungut pajak. Sebuah perdikan biasanya diberikan kepada tokoh yang berjasa besar.
Pemerintahan atau kekuasaan di Pemalang mulai berkembang pada akhir tahun 1350-an berkaitan dengan Majapahit. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Wilayahnya meliputi seluruh Nusantara, dan pengaruhnya sampai ke Pulau Madagaskar di dekat Benua Afrika. Kejayaan itu tercapai berkat Sumpah Palapa Gajah Mada yang bertekad mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah bendera Majapahit. 
Penyatuan atau penaklukan itu ada yang berjalan secara damai dengan hubungan dagang dan pemerintahan (politik), tetapi ada juga yang harus dengan peperangan. Walaupun sudah menjangkau seluruh Nusantara, masih ada daerah-daerah tertentu yang terlewat. Salah satu kerajaan yang belum tunduk kepada Majapahit adalah Pajajaran di Pasundan (Jawa Barat). 
Pajajaran memiliki kekuatan militer yang canggih, dukungan rakyat yang hebat, kekayaan alam yang berlimpah, keindahan alam yang menawan, dan gadis-gadis yang cantik. Seorang putrinya yang bernama Dyah Pitaloka bagaikan bidadari turun ke bumi. Keadaan itu membikin Gajah Mada merasa sayang untuk menaklukkan Pajajaran dengan peperangan. Lantas dicarilah siasat yang jitu agar Pajajaran dapat dikalahkan secara damai, bahkan dirangkul mesra. Singkat cerita, tersusunlah sebuah siasat untuk menguasai Pajajaran. 
Pada mulanya, disiapkan  pinangan atau lamaran Hayam Wuruk kepada putri Dyah Pitaloka dengan keyakinan pasti disambut hangat. Pinangan dari seorang maharaja berarti penghormatan. Kalau sampai ditolak berarti perlawanan. Ternyata benar, lamaran itu diterima baik-baik, bahkan di-sanggupi keberangkatan calon pengantin putri ke Majapahit. 
Tetapi apakah yang terjadi kemudian? 
Sampai di desa Bubat rombongan Pajajaran dihentikan. Kemudian diberi penjelasan bahwa calon pengantin putri harus dihadapkan sebagai persembahan atau upeti. Artinya, Pajajaran harus mengakui kekuasaan Majapahit. Tentu saja hal itu menimbulkan kekecewaan Pajajaran sehingga terjadilah perang yang seru.
Tahulah Gajah Mada bahwa rombongan tersebut bukan pasukan militer yang siap berperang. Mereka hanya rombongan calon pengantin putri. Mereka kaget, panik, dan berantakan menghadapi serangan yang mendadak. Raja Pajajaran terpaksa mengakui kekalahan dengan dendam yang berat. 
Dendam pun melekat di hati Dyah Pitaloka yang merasa dikhianati. Sadarlah dia bahwa pinangan terhadapnya hanyalah siasat Majapahit menaklukkan Pajajaran. Setelah lolos dari kancah pertempuran, dia pun berniat kembali ke Pajajaran. Akan tetapi, di tengah perjalanan dia mengakhiri hidupnya dengan kerisnya sendiri. 
Peristiwa tragis itu terjadi pada tahun 1348 di desa Bubat sehingga terkenal dengan nama Perang Bubat. Dalam berbagai cerita tidak dijelaskan di mana sebenarnya letak desa atau kota Bubat. Yang ada sekarang adalah kota Babat di Kabupaten Lamongan, pantai utara Jawa Timur. Bisa dibayangkan pada zaman kuno tempat itu merupakan salah satu gerbang masuk ke Majapahit. Apakah Bubat di zaman kuno sama dengan kota Babat sekarang merupakan kisah tersendiri. 
Di sebelah barat Pemalang ada kota kecil Babadan. Namanya hampir sama dengan Bubat. Mungkin juga di situlah perang terjadi. Yang jelas, setelah perang berakhir banyak prajurit Majapahit yang tidak langsung kembali ke markasnya. Ada yang beralasan jenuh berperang, ingin merintis kehidupan  baru, dan berguru kesaktian kepada para pendekar terkenal. 
Waktu itu Ki Buyut Banjaransari di perdikan Pemalang sudah tersohor kesaktiannya. Wajar bila banyak orang berguru kepadanya. Di antaranya adalah Ki Bondan Lamatan yang telah 

Sampai di Bubat, terjadilah perang yang seru sehingga Raja Pajajaran terpaksa mengaku kalah dengan dendam yang berat.
bertugas sebagai senopati atau komandan prajurit Majapahit dalam Perang Bubat. 
Ki Bondan Lamatan tidak hanya memperoleh kesaktian, bahkan menjadi menantu gurunya. Dia menikah dengan Endangsih dan menurunkan sepasang anak lelaki, yaitu Raden Sambungyudha alias Joko Malang dan Raden Aburabur. Setelah dewasa, Raden Joko Malang berguru kepada Ki Tapel Wojo hingga tuntas dan diakui masyarakat sebagai pendekar yang hebat. 
Hal itu sangat menyenangkan hati ayah dan kakeknya. Kebetulan Ki Buyut Banjaransari tidak sempat mengurus perdikan Pemalang karena kesibukan. Mestinya Ki Buyut Banjaransari melimpahkan kekuasaan perdikan itu kepada menantu Ki Bondan Lamatan. Tetapi Ki Bondan belum sanggup melaksanakan, bahkan memilih jadi pendekar di Gunung Slamet. Itulah sebabnya kekuasaan perdikan diwariskan ke tangan Raden Joko Malang atau Raden Sambungyudha.
Diperkirakan nama Pemalang berkaitan dengan nama tokoh tersebut. Kata pe atau pa dalam bahasa Jawa dapat menunjukkan tempat, sedangkan malang kebetulan menunjukkan nama orangnya. Jadi, Pemalang berarti 'suatu tempat yang dimiliki atau dikuasai Raden Joko Malang'. Tidak lama kemudian, namanya menjadi Ki Gede Sambungyudha sesuai dengan kedudukannya sebagai penguasa. 
Waktu itu bumi Pemalang masih dipenuhi semak belukar, hutan lebat, dan rawa-rawa. Penduduknya terpencar di sepanjang sungai-sungai yang menjadi sumber air dan sekaligus jalur perhubungan dengan perahu dan sampan. Jalan darat masih sangat terbatas karena terhalang hutan dan semak belukar. Sulitnya perhubungan darat mendorong Ki Gede Sambungyudha merintis pembangunan jalan dan jembatan di berbagai termpat.
Tokoh yang besar jasanya dalam rintisan itu adalah Ki Patih Jiwanegara. 
Selanjutnya, Pemalang diperintah oleh putranya yang bergelar Adipati Anom Windu Galbo, sedangkan patihnya masih tetap Ki Jiwanegara. Sayang sekali, perkembangannya tersendat karena terputus dengan pusat kekuasaan Majapahit yang runtuh pada akhir tahun 1400-an. Kebetulan muncullah kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah, yaitu Demak Bintoro yang berkedudukan di Demak. 
Namun, Demak Bintoro tidak berpengaruh terhadap perkembangan Pemalang. Demak Bintoro belum sempat memikirkan wilayah yang jauh-jauh. Penguasaan ke barat hanya sampai daerah Semarang. Tidak lama kemudian, terjadilah perebutan takhta kekuasaan. Dalam waktu singkat, Demak pun runtuh dan kekuasaan berpindah ke Kesultanan Pajang di dekat Surakarta. Kebetulan Pajang pun hanya bertahan sebentar karena terjadi juga perebutan takhta kekuasaan. Yang menang adalah Raden Sutowijoyo yang mulai berkuasa di Mataram (sekarang Yogyakarta). 
Runtuhnya Pajang mendorong para pemuda bangsawan dan priayi pergi mencari kehidupan baru yang lebih aman. Lebih baik hidup merdeka di kejauhan daripada ditindas kekuasaan lawan. Di antara mereka yang sampai ke Pemalang adalah Ki Gede Subayu dan Raden Sida Wini. Waktu itu Pemalang sedang komplang atau kehilangan kekuasaan. Artinya, tidak ada kekuasan yang kokoh. Sudah terputus dengan Majapahit yang runtuh, tetapi tidak terkait dengan Demak Bintoro, Pajang, dan Mataram. 
Keadaan itu membuka peluang Raden Sida Wini menanamkan pengaruhnya di bidang pemerintahan. Pengalamannya sebagai bangsawan Pajang disambut hangat masyarakat Pemalang. Terbukti dia pun sempat berkuasa sebagai adipati Pemalang. Sementara itu, Ki Gede Subayu melanjutkan perjalanan ke barat dan berhasil merintis daerah baru yang kemudian bernama Tegal. 
Pemerintahan yang dirintis Raden Sida Wini dilanjutkan oleh Kanjeng Jinogo Hanyokro Kusumo atau Darul Ambyah dengan semangat Islam. Pengangkatan dan pengakuan masyarakat Pemalang terhadap penguasa baru tersebut terjadi pada hari Kamis 24 Januari 1575 atau 2 Syawal 982 H. Karena itulah tanggal tersebut dijadikan sebagai tanggal kelahiran Kabupaten Pemalang. 
Jelaslah riwayat Pemalang jauh lebih tua daripada Tegal dan Pekalongan. Kota tersebut sudah lahir pada zaman Majapahit, sedangkan Tegal dan Pekalongan tumbuh seratus tahun kemudian bersama kekuasaan Mataram.
Kesimpulan 
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita tentang kesadaran membangun pemerintahan yang kokoh demi kemakmuran rakyat. Suatu daerah yang tidak memiliki pemerintahan mudah dilanda kekacauan. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak memikirkan kepentingan rakyat berarti mengkhianati tugas atau kodratnya.
Semangat Ki Gede Sambungyudha membangun jalan dan jembatan merupakan contoh kesadaran penguasa yang peduli terhadap kepentingan rakyat. Seharusnya, semangat itu dilanjutkan sepanjang zaman dengan selalu memihak kepentingan orang banyak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Dragon Cursors at www.totallyfreecursors.com